1.
Penyiapan
SDM Sekolah dalam Penerimaan Terhadap TIK
Yang dimaksud dengan SDM dalam
modul ini adalah tenaga pendidik yakni
kepala sekolah dan guru dan tenaga kependidikan yang meliputi pegawai tata
usaha, laboran, pustakawan, teknisi dan pembantu pelaksana. Walaupun pada
dasarnya peserta didik adalah bagian terbesar dari SDM di sekolah, tetapi
modul ini tidak mengangkat isu tentang
peserta didik, mengingat bahwa peserta didik merupakan subjek akhir dari
pengelolaan TIK.
Dalam pengembangan sekolah salah satu
indikator yang penting adalah unsur SDM. Sekolah harus memiliki sumber daya manusia yang profesional
dan tangguh, baik guru maupun kepala sekolah, tenaga pendukung (tenaga
komputer, laboran, pustakawan, tata usaha, dsb). Profesionalisme pendidik dan
tenaga pendidikan ditunjukkan oleh penguasaan bidang kerjanya, etos kerjanya,
penguasaan bahasa asing, (Bahasa Inggris khususnya), penguasaan TIK mutakhir dan canggih bagi pekerjaannya,
berstandar internasional, dan etika global.
SDM akan berkembang jika mereka
melakukan perubahan. Oleh karena itu perubahan pada tataran individu harus
terus didorong. Untuk berubah, manusia perlu belajar sebab berubah berarti
memasuki pola hidup baru yang belum dikuasai sebelumnya sehingga pola itu belum
tertransfer ke otak (deBono, 1980). Untuk ini orang perlu belajar terlebih
dahulu, sebab ‘change is learning’
[berubah adalah belajar] (Dalin et al., 1993, p.15). Ini selaras dengan
Sternberg ketika memberi definisi belajar sebagai ‘any relatively permanent change in the behaviour, thoughts and feelings
…that result from experience’ [ setiap perubahan yang relatif permanen
dalam tingkah laku, pikiran dan perasaan sebagai hasil dari pengalaman]
(Stenberg, 1994, p.236). Artinya, walaupun orang tidak berniat melakukan
perubahan sebelum memulai proses belajar, jika belajarnya berhasil, akan
terjadi juga perubahan pada dirinya. Disamping itu, agar perubahan terjadi
sesuai dengan arah yang diinginkan, manajemen perubahan yang tertata baik
mutlak diperlukan. Jika dua pernyataan ini diterima, strategi pengembangan SDM
di sekolah rintisan SBI akan merupakan gabungan atau turunan dari dua kata
kunci di atas: belajar dan manajemen perubahan.
Jika kehadiran TIK dianggap sebuah
perubahan di sekolah, maka tidak semua SDM sekolah langsung dapat menerima.
Banyak yang salah satu tugas kepala
sekolah adalah menyiapkan SDM sekolah untuk siap menerima perubahan tersebut. Kesiapan
penerimaan terhadap TIK tentu tidak dapat terjadi secara tiba-tiba tetapi
melalui sebuah proses dimulai dari kesadaran tentang kehadiran TIK, pemahaman
tentang manfaat TIK dan kesediaan menerima kehadiran TIK.
Penerapan TIK dapat dijadikan strategi
untuk mengubah SDM di sekolah. Seperti halnya pada penerapan Total Quality Management (TQM), juga terjadi proses rekursif dalam
aplikasi TIK di sekolah. Agar TIK dapat diaplikasikan dengan maksimal,
diperlukan SDM yang bermutu. Sebaliknya, penggunaan TIK secara sungguh-sungguh
akan membantu meningkatkan kualitas SDM.
Untuk pengelolaan TIK di sekolah pada
hakekatnya adalah tugas yang melekat pada diri kepala sekolah. Kepala sekolah
dapat menugaskan tenaga pengelola TIK sesuai dengan ketersediaan SDM dan
kebutuahn yang ada. Beberapa sekolah memiliki tim khusus yang menangani TIK
(tim Pusat Sumber Belajar), ada pula yang menugaskan guru TIK sekaligus sebagai
tenaga pengelola TIK, ada pula yang mengangkat tenaga honorer untuk mengelola
TIK. Diharapkan semua calan pengelola ini siap menerima kehadiran TIK dan siap
melakukan pengelolaannya.
2.
Sosialisasi
Pemanfaatan dan Pengelolaan TIK
Konsep
pengembangan SDM TIK untuk pendidikan dimulai dari tahap sosialisasi
(pengenalan, advokasi atau penyadaran) terlebih dahulu. Dilanjutkan dengan
pelatihan dan kemudian pendampingan. Dengan harapan, setelah itu akan terbentuk
suatu komunitas jaringan SDM TIK untuk pendidikan. Sementara, sasarannya itu
sendiri adalah 1) para pemanfaat (pengguna) yaitu guru melalui kegiatan
sosialisasi, pelatihan, pendampingan pemanfaatan TIK yang pada akhirnya akan
terbangun komunitas pemanfaat TIK; 2) para pengembang TIK (guru, aktifis TIK,
dan masyarakat secara umum melalui pola kegiatan yang sama; 3) para pengelola
TIK (penangung jawab, koordinator, teknisi, helpdesk baik level pusat,
provinsi, maupun daerah); serta 4) para tim teknis Jardiknas yang akan mendapat
pola pendidikan sertifikasi teknisi Jardiknas.
Sosialiasi
Sosialisasi
merupakan pengertian yang mencakup proses untuk memperkenalkan TIK dan
mendiskusikan manfaat-manfaat yang diperoleh dari TIK bagi pengembangan pendidikan. Proses sosialisasi dapat dimaknai sebagai
membuka pintu gerbang sekolah
agar TIK diterima dan mendapat sambutan dengan baik.
Hal ini akan menentukan dukungan dan keterlibatan komunitas sekolah dalam
memanfaatkan TIK. Dengan demikian sosialisasi dilakukan pada tahap awal pendirian intervensi TIK untuk membangkitkan kesadaran masyarakat sekolah (guru dan siswa) terhadap
keberadaan dan jasa layanan TIK
.
Sosialisasi
mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Memperkenalkan TIK
dan layanannya
b.
Menarik perhatian
c.
Pemahaman
d.
Perubahan sikap
e.
Tindakan
3.
Pelatihan,
Kursus, dan In House Training (IHT) Pengelolaan TIK
Untuk meningkatkan kualitas SDM
pengelola TIK di sekolah, sekolah dapat menugaskan staf/guru untuk mengikuti
Diklat atau Pelatihan. Pelatihan umumnya
diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi yang memiliki tugas pembinaan
terhadap sekolah tentang pemanfaatan TIK, salah satunya adalah Pustekkom.
Begitu juga Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota dapat melakukan Pelatihan
Pengelolaan TIK.
Berbeda dengan pendidikan, pelatihan
bersifat luwes dalam hal waktu. Pelatihan dapat dilangsungkan dari bilangan jam
sampai bilangan bulan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Pelatihan dapat diselenggarakan dengan materi sesuai
dengan kebutuhan atau keinginan sehingga hampir semua fungsi pendidikan di
sekolah dapat di-diklat-kan: manajemen, kepemimpinan, proses belajar mengajar,
administrasi, termasuk di dalamnya diklat pengelolaan TIK. Instruktur pelatihan
dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan
keinginan. Mereka dapat dipilih dari kalangan akademisi, teknisi, maupun
praktisi sehingga diklat dapat bersifat teoritis, teknis, maupun praktis.
Selain melalui pelatihan, sekolah juga
dapat menugaskan guru/staf untuk mengikuti kursus pengelolaan TIK. Kursus diselenggarakan oleh lembaga atau
organisasi di luar sekolah. Bedanya, Pelatihan diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi
pemerintah sedangkan kursus biasanya oleh organisasi berorientasi laba. Karena
berorientasi bisnis, lembaga pengelola kursus umumnya berusaha menjual produk
jasanya dalam kualitas maksimal yang dapat mereka tawarkan. Umumnya, harga jasa
mereka berbanding lurus dengran kualitas jasa yang mereka tawarkan. Jika tidak,
mekanisme pasar akan ’bertindak’. Oleh karena mekanisme pasar ini, memilih
lembaga kursus yang bermutu relatif lebih gampang dibanding dengan menentukan
kulaitas pada sebuah pelatihan, dan biasanya frekuensi pelatihan yang
diselenggarakan oleh instansi pemerintah terbatas.
Jika sekolah memilih kursus sebagai salah satu
cara pengembangan SDM, yang penting dilakukan adalah penyiapan dana yang sesuai
dengan mutu kursus yang dipilih. Yang perlu dilakukan oleh sekolah agar tidak membeli terlalu mahal adalah
membandingkan kualitas jasa yang mereka jual dengan jasa sejenis dari penjual
lain.
Selain itu sekolah juga dapat
melakukan In House Training (IHT). IHT
dilaksanakan sendiri oleh sekolah. Instruktur dapat diambil dari kalangan dalam
sekolah atau dari luar sekolah. Karena diselenggarakan oleh sekolah, materi IHT
dapat lebih dispesifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan sekolah
penyelenggaranya. Karena diselenggarakan di sekolah, IHT merupakan kegiatan
yang sangat mungkin diikuti oleh semua tenaga pendidik dan kependidikan karena
disamping murah, mereka juga tidak harus meninggalkan tugas dinas mereka.
Disamping itu, IHT juga sangat baik untuk menjadi wahana peningkatan penguasaan
materi bagi para instruktur dari dalam sekolah karena menjadi instruktur
sesunggguhnya merupakan cara belajar yang sangat efektif. IHT dapat juga
menjadi media untuk mempererat hubungan batin antar warga sekolah sehingga
ikatan kekeluargaan bisa menjadi lebih baik. Hasilnya, IHT dapat menjadi forum
yang baik untuk membentuk kultur baru sekolah atau memperkuat kultur lama yang
dipertahankan.
Untuk menghindari masalah mutu seperti
yang diungkap dalam diskusi tentang pelatihan, penyelenggaraan IHT perlu taat
tujuan dan kualitas perlu dijadikan pusat perhatian. Jika, misalnya, penetapan
instruktur dari dalam sekolah dirasa kurang mendatangkan efek peningkatan mutu
yang memadai, mendatangkan instruktur dari luar dapat menjadi solusinya; atau
sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa komentar ya...